“لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ فَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيغَ.”
Abū Bakar berkata, “Aku tak akan meninggalkan sesuatu yang Rasulullah ﷺ lakukan, kecuali sudah kulakukan. Karena Aku takut jika kulewatkan barang seamalpun, kuakan tersesat.”
Abū Bakar raḍiyallahuanhu, Abdullah bin Abī Quḥāfah al-Taimī, adalah sahabat Rasulullah ﷺ yang paling mulia. Sebelum Nabi ﷺ bertemu Jibril alaihissalām, Abū Bakr telah menjadi kawan dekatnya. Saat wahyu telah turun, ialah yang pertama masuk Islam dari kalangan bapak-bapak. Ketika dakwah mendapat represi dari Quraisy, ia banyak membebaskan budak-budak muslim yang terjebak dalam siksaan tuannya.
“Demi Allah, jika ia bilang begitu, maka ia benar!” Begitu jawabnya pada orang-orang yang meremehkan kabar Isrāʻ-Miʻrāj Nabi ﷺ. Padahal, banyak orang yang murtad karena betapa tidak masuk akalnya kesaksian sang Nabi ﷺ. Sehingga, sejak itu, ia Rasul ﷺ gelari al-Ṣiddīq, sang pembenar.
Waktu Rasul ﷺ berhijrah, Abū Bakr-lah yang ditunjuk untuk menemani. Rasul ﷺ lalu tambah memuliakannya dengan menikahi putrinya, ʻĀʻisyah raḍiyallahuanhā. Pada Pertempuran Badr dan kecamuk perang lainnya, ia selalu tegar bersama Rasulullah ﷺ menghadapi segala yang mengancam Islam dan kaum muslimin.
Ketika Rasul ﷺ sakit keras, ia mengutus Abū Bakr untuk menggantikannya mengimami salat. Saat para sahabat ditimpa depresi karena ditinggal Nabi ﷺ, ialah yang tetap waras dan mengatakan, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah mati. Namun, sesiapa yang menyembah Allah, maka Dia Maha Hidup, mustahil mati!”
Melihat seluruh kualitas tadi, para pemuka sahabat pun berijmak untuk membaiatnya menjadi khalifah, pengganti Rasulullah ﷺ.
Sebelum dan setelah ia menjadi khalifah, ia selalu mengikuti apa yang telah Rasulullah ﷺ contohkan. Jika Nabi ﷺ berkata A, ia akan berkata dan berlaku A. Begitu jugalah Abū Bakr bermanhaj dalam memerintah.
Salah satunya dalam perihal wakaf. Ia sangat memperhatikan keberlangsungan harta-harta wakaf Nabi ﷺ.
Sesaat sesudah wafatnya Nabi ﷺ, Sayyidah Fāṭimah, putri Nabi ﷺ, mendatangi Abū Bakr, sang khalifah. Ia meminta hak warisnya dari tanah peninggalan Nabi ﷺ di Khaibar, Fadak, dan Madinah. Abū Bakr menolak, ia berasalan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Lā nūraṡ, mā taraknā ṡadaqah. Kami tidak mewariskan, apa-apa yang kami tinggalkan adalah sedekah (wakaf).”
Selain prinsipnya yang kuat untuk menjaga keutuhan wakaf Nabi ﷺ, ia juga mengelola wakaf-wakaf tadi dengan sebaik-baiknya.
Abū Bakr pun punya amal wakafnya sendiri. Ia mewakafkan rumah-rumahnya di Makkah untuk anak-keturunannya, tidak dapat dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Di dekat sana, di Mina, Abū Bakr juga menggali sumur al-Yāqūtah untuk melayani para jamaah haji. Selain itu, saat dekat ajalnya, Abū Bakr mewasiatkan agar gaji-gajinya sebagai khalifah dari baitulmal digunakan untuk mewakafkan sebidang tanah untuk kemaslahatan kaum muslimin.
Inilah Abū Bakr. Kepeloporannya dalam beramal nyawa dan harta membuat ʻUmar berkesah, “Wallahi, lā asbiquhu ilā syaiʻ abadan. Demi Allah, Aku takkan bisa menyalipnya sama sekali!”
#AmalTakPutusParaAuliya
Ini adalah seri Amal Tak Putus Para Auliya, yang akan membahas amal wakaf para wali Allah dari sahabat, tabiin, dan seterusnya.
Penulis: Muhamad Syauqi Syahid, Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Universitas Al-Azhar Kairo
Sumber dan Referensi:
Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Imam al-Bukhārī
Sunan al-Tirmiżī, Imam al-Tirmiżī
Al-Sīrah al-Nabawiyyah, Ibnu Hisyām
Niẓām al-Waqf fī al-Islām, ʻAlī M. al-Zahrānī