a. Definisi
Wakaf pertanian merupakan pengelolaan harta wakaf untuk menghasilkan nilai produksi. Pengembangan wakaf jenis ini dilakukan sedemikian rupa agar dapat menghasilkan produk pertanian yang dikomersilkan, hasil dari komersialisasi produk pertanian tersebut akan disalurkan pada pihak yang berhak menerima manfaat wakaf, juga digunakan sebagai biaya perawatan atau biaya produksi. Merujuk pada poin UU. No. 1 Tahun 2004 tentang wakaf yang menekankan wakaf yang dikelola secara produktif demi kepentingan sosial dan kesejahteraan umat. Perkembangan pengelolaan wakaf tidak hanya terpaku pada aspek ibadah semata, namun juga bisa mempertimbangkan aspek produktivitas wakaf demi keberlangsungan manfaat wakaf. Dasar yang bisa digunakan dalam mengelola wakaf adalah bagian wakaf yang diberikan kepada penerima wakaf harus dimanfaatkan atau dikembangkan, juga pengelolaannya harus pada bidang produktif yang halal. Terdapat beberapa metode dalam pelaksanaan wakaf dalam bidang pertanian. salah satunya adalah model CrowdFunding, pengadaan harta benda wakaf atau tanah wakaf dalam rangka pelaksanaan wakaf pertanian, pembiayaan pengadaan harta benda wakaf berasal dari dana publik yang dihimpun oleh pengelolah wakaf. Model ini cukup relevan untuk diterapkan dimasa sekarang. Sebagai misal, era revolusi industri 4.0 dewasa ini telah melahirkan teknologi semacam blockchain
yang memudahkan transaksi wakaf secara daring dan mekanisme pelaporannya secara transparan (Shohibuddin 2019). Hasil dari penghimpunan dana dengan metode ini akan digunakan dalam pengadaan harta benda wakaf atau tanah wakaf untuk dimanfaatkan dalam bidang pertanian.
b. Model-model pengelolaan wakaf pertanian
Pengelolaan wakaf terus menglami perkembangan, dari pengelolaan yang dilakukan secara tradisional, mulai berkebang kearah yang institusional. Beberapa metode yang dirasa cukup relevan dalam pengelolaan wakaf pertanian ialah, Mukhabarah dan Muzara’ah.
1. Mukhabarah
Menurut Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, mukhabarah terjadi jika pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada penggarap dan modal dari penggarap (Suhendi, 2013:54). Kebolehan akad mukhabarah disyariatkan berdasarkan hadits Ibnu Umar r.a, “Diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a sesungguhnya Rasulullah SAW. melakukan bisnis atau perdagangan dengan penduduk Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil berupa buah buahan atau tanaman (HR. Muslim)”. Para ulama berpendapat akad mukhabarah mempunyai tujuan tolong menolong
antara petani dengan pemilik tanah pertanian, yakni pemilik tanah yang tidak mampu mengerjakan tanahnya dapat saling tolong-menolong dengan petani yang tidak mempunyai lahan pertanian (Haroen, 2007:277).
2. Muzara’ah
Muzara’ah dapat diartikan sebagai kerjasama pertanian yang dilakukan oleh pemilik lahan dengan pengolah lahan menggunakan perjanjian bagi hasil (Rafly, Natsir, & Sahara, 2016). Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) muzara’ah merupakan kerja sama antara pemilik lahan dengan penggarap lahan demi pemanfaatan lahan. Menurut KHES pasal 259, kegiatan Muzara’ah dapat dilaksanakan secara mutlak dan atau terbatas. Adapun yang dimaksud mutlak adalah proses pengolahannya tidak terbatas oleh apapun, baik itu benih yang ditanam, waktu penanaman, atau lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud terbatas yaitu adanya batasan dalam kegiatan yang dilakukan selama penggarapan yang dibuat oleh pemilik lahan dengan penggarap lahan.
Dalam UU. No. 1 Tahun 1960 pasal 1 tentang perjanjian bagi hasil, dijelaskan bahwa “hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap dalam perjanjian bagi hasil, setelah dikurangi biaya untuk bibit, pupuk, ternak, serta biaya untuk menanam dan panen”. Kedua model pengelolaan wakaf produktif pada bidang pertanian di atas samasama memiliki proses bagi hasil atas pengelolaannya.
Sumber : https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/35897/16423122%20Ahmad%20Sarjun.pdf?sequence=1&isAllowed=y