Wakaf berarti menghentikan perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola, baik perorangan, keluarga, maupun lembaga untuk digunakan bagi kepentingan umum di jalan Allah SWT.
Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan wakaf pertama kali dilakukan oleh Umar bin Khattab. Menurut riwayat Bukhari dan Muslim secara ittifaq (disepakati oleh ulama hadis pada umumnya) dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki sebidang tanah di Khaibar, yang aku belum pernah memiliki tanah sebaik itu. Apa nasihat engkau kepadaku?” Rasulullah SAW menjawab: “Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu, sedekahkanlah hasilnya. Lalu Umar mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar (di sekitar Kota Madinah) itu dengan pengertian tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.
Ibnu Umar selanjutnya mengatakan, Umar bin Khattab menyedekahkan hasil tanah itu kepada fakir miskin dan kerabat serta untuk memerdekakan budak untuk kepentingan di jalan Allah SWT, orang telantar, dan tamu.
Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memerankan peranan yang sangat penting dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan soial, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat Islam. Selain itu, keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan pendidikan sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pemerintah.
Didin Hafidhuddin dalam bukunya yang berjudul Islam Aplikatif menerangkan sumber-sumber wakaf tidak hanya digunakan untuk membangun perpustakaan, ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk membangun perumahan siswa, kegiatan riset, seperti untuk jasa-jasa fotokopi, pusat seni, dan lain-lain.
Dalam usahanya untuk memotivasi riset, program penerjemahan juga ditunjang hasil-hasil wakaf. Banyak sekali buku yang ditulis atau diterjemahkan oleh sarjana dan ilmuwan Muslim didanai oleh wakaf. Riset-riset baik yang menggunakan metode empiris maupun sainstifik terus dikembangkan dan didukung pendanaannya oleh wakaf.
Mohd Ali Muhamad Don dalam karyanya yang berjudul Peranan Wakaf Untuk Membangun Pendidikan Tinggi menjelaskan, sejarah perkembangan lembaga pendidikan wakaf (IPW) terkait erat dengan pembangunan masjid.
Nabi Muhammad SAW mendirikan konstruksi Masjid Quba dengan dana wakaf dan Masjid al-Nabawi di atas tanah wakaf dengan berbagai fungsi termasuk pusat penyebaran ilmu dan dakwah. Peran ini telah dimainkan sejak zaman awal Islam.
Implikasi dari perkembangan pendidikan yang begitu pesat dan masjid yang ada tidak dapat menampung jumlah siswa yang banyak. Sebuah surau yang dikenal sebagai al-Suffah telah dijadikan pusat pendidikan.
Selama pemerintahan Khalifah Umar al-Khattab, institusi pendidikan wakaf prasekolah yang dikenal sebagai kuttab diperkenalkan. Kuttab diambil dari kata taktib yang berarti mengajar menulis.
Jadi, kuttab adalah pusat pendidikan awal untuk belajar membaca dan menulis, baik di masjid atau lainnya. Di sekolah ini, anak-anak miskin disebut kuttab sabil belajar secara gratis, sementara yang lain dikenakan biaya.
Ketika zaman pemerintahan Kerajaan Abbasiyah (750-1258M), Kota Baghdad telah menjadi pusat kegiatan intelektual. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya Bayt al-Hikmah oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Bayt al-Hikmah merupakan pusat penerjemahan karya-karya Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab.
Selain sebagai pusat pendidikan tinggi dan pusat penulisan karya ilmiah, perguruan tinggi ini telah melahirkan banyak tokoh sarjana Islam tersohor, seperti Jabir bin Hayyan, Muhammad al-Khawarizmi, Abu Yusuf al-Kindi, dan lainnya.
Pada zaman pemerintahan Islam di Andalusia, Universitas Cordova telah menjadi lembaga pendidikan terbesar di dunia dengan penawaran berbagai kursus dan terbuka untuk siswa Muslim dan non-Muslim.
Pendidikan ini dibiayai secara gratis. Biaya pembinaannya telah ditanggung oleh Khalifah Abdul Rahman III selain dibantu oleh publik dari dana wakaf.
Selain itu, terdapat Universitas Granada atau Madrasah al-Nasriyyah yang menawarkan kursus dalam bidang hukum, kedokteran, kimia, filsafat, dan astronomi.
Peran al-Ma’mun
Menurut Ahmad Zaki dalam Wakaf Pengurusan dan Sumbangannya Terhadap Pendidikan Islam di Malaysia, Khalifah al-Ma’mun adalah individu pertama yang mengemukakan ide pembentukan badan-badan wakaf untuk pembiayaan pendidikan.
Menurutnya, Bayt al-Hikmah merupakan perguruan tinggi yang didanai oleh badan wakaf yang dipelopori oleh Khalifah al-Makmun di Baghdad.
Madrasah al-Nizamiyah atau juga dikenal sebagai Universitas Nizamiyah didirikan pada zaman pemerintahan Abbasiyah untuk menyebarluaskan ajaran Mazhab Ahlussunah waljamaah yang menjadi mazhab resmi Pemerintah Abbasiyah.
Sekolah tersebut didirikan pada 459 Hijriyah (1066-1067 M) oleh Nizam al-Muluk, yaitu seorang menteri dari pada bangsa Saljuk dan dianggap sebagai perguruan tinggi yang dibangun dalam Islam.
Dia turut mendirikan lembaga pendidikan lain dengan dibiayai segala kemudahannya, termasuk perpustakaan, honorarium para guru, dan beasiswa kepada yang terpilih.
Ibnu Khaldun menyebutkan, Salahuddin al-Ayubi turut mewakafkan tanah pertanian, rumah-rumah, dan bangunan untuk tujuan pendidikan di samping Pemerintah Turki juga mewakafkan harta untuk tujuan pendidikan sehingga banyak siswa mendapat manfaat dengan pertambahan jumlah sarjana terkemuka.
Monzer Khaf dalam Financing The Development of Awqaf Property menambahkan, tanah wakaf pernah digunakan untuk membangun universitas selain membiayai peralatan pengajaran, honorarium untuk para guru, dan akomodasi siswa, baik yang lajang maupun sudah berumah tangga.
Mohd Ali Muhamad Don melanjutkan, Universitas Al-Azhar di Mesir merupakan lembaga pendidikan wakaf yang terulung dibangun oleh Pemerintah Fatimiyah pada 975 Masehi kemudian dikembangkan kembali pada tahun 1960 oleh Pemerintah Mesir.
Universitas ini dikelola dari harta wakaf yang mengutamakan kepentingan sektor pendidikan sehingga melahirkan banyak ilmuwan Islam tersohor. Dampak yang paling besar dari manfaat wakaf pendidikan ketika banyak siswa dari Asia dan Afrika melanjutkan pendidikan ke Mesir.
Masih menurut Mohd Ali Muhamad Don, posisi lembaga pendidikan wakaf mulai mengalami perubahan seiring dengan modernisasi Pemerintah Turki Ottoman. Metode administrasi harta wakaf secara terpusat telah digunakan untuk menghapus lembaga wakaf secara terorganisasi.
Harta wakaf dijadikan jalan mudah untuk cepat menjadi kaya di Turki. Bahkan, penyewa-penyewa gedung dan penyewa tanah wakaf diarahkan supaya membeli aset jika tidak harta tersebut akan dijual dan segala hasilnya akan dimiliki oleh pihak pemerintah.
Praktik di Indonesia
Ahmad Furqon dalam Wakaf Sebagai Solusi Permasalahan Dunia Pendidikan di Indonesia menambahkan, di Indonesia telah banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan yang berdiri dan berkembang dengan harta wakaf, di antaranya Pondok Modern Gontor, Yayasan Pendidikan al-Khairt, Universitas Islam Indonesia (UII), dan Universitas Sultan Agung (Unisula).
Lembaga-lembaga pendidikan ini telah berhasil mendayagunakan harta wakaf yang dimiliki untuk pengembangan lembaga pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah berhasil membiayai operasional pendidikan, menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang baik dari keuntungan yang diperoleh dari harta wakaf.
Akan tetapi, satu catatan adalah lembaga-lembaga pendidikan tersebut belum berhasil memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak yang tidak mampu atau membutuhkan. Sisi sosial dari wakaf belum terlalu terasa, walaupun telah mendapatkan keuntungan yang besar.
Sumber : https://www.republika.co.id/berita/oa6og715/mengenang-kejayaan-wakaf-untuk-pendidikan