Jakarta – Wakaf tunai belum dikenal pada periode Nabi Muhammad dan baru dipraktikkan sejak permulaan abad kedua hijriyah. Imam az-Zuhri, seorang ulama terkemuka dan pembangun dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dibolehkannya berwakaf dengan dinar dan dirham untuk pembangunan fasilitas dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Pada abad ke-15, praktik wakaf tunai telah menjadi nama umum di masyarakat di Turki.
Wakaf tunai biasanya mengacu pada simpanan tunai di lembaga keuangan seperti bank, dan biasanya diinvestasikan dalam kegiatan bisnis yang menguntungkan. Pengembalian investasi digunakan untuk segala sesuatu yang bermanfaat secara sosial dan agama. Pada abad ke-20, lahir berbagai gagasan untuk mewujudkan ide-ide cemerlang Islam di bidang ekonomi, dan lahirlah berbagai lembaga keuangan seperti bank, perusahaan asuransi, pasar modal, lembaga zakat, lembaga wakaf, dan lembaga haji Mekkah.
Pada tahap inilah banyak bermunculan ide-ide dari para akademisi dan praktisi untuk menjadikan wakaf tunai sebagai salah satu pondasi dalam membangun perekonomian. Ide wakaf tunai semakin bermunculan dari berbagai seminar yang diadakan oleh umat Islam. Negara-negara Islam di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara sendiri memulainya dengan cara yang berbeda.
Keuangan sosial Islam telah tumbuh secara signifikan di dunia saat ini, terutama dalam beberapa dekade terakhir. Dalam konteks Islam, wakaf hanya diartikan sebagai suatu aset yang dimiliki dan konsumsinya dibatasi dengan menarik keuntungan untuk kepentingan penerima manfaat. Praktik wakaf biasanya terfokus pada bangunan dan tanah. Namun, banyak yang tidak mampu untuk menyumbangkan semua aset mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan wakaf.
Oleh karena itu, wakaf tunai merupakan pilihan yang tepat bagi para donatur yang memiliki harta bergerak, atau uang tunai, daripada aset tetap. Melalui Wakaf tunai, seluruh lapisan masyarakat, berapapun jumlahnya, dapat melakukan filantropi yang berkelanjutan, selama mereka mau melakukannya secara sukarela untuk mendapatkan keridaan Tuhan.
Istilah “milenial” mengacu pada generasi yang lahir pada 1980-an dan 1990-an. Pada tahun 2020, populasi milenial Indonesia tercatat sangat tinggi yaitu 88 juta. Selain itu, Indonesia dinilai sebagai negara paling dermawan di dunia. Situs web Yayasan Bhakti Bangsa melaporkan bahwa Indonesia akan memiliki populasi pekerja atau milenial terbesar di Asia Tenggara pada tahun 2045. Jumlahnya mencapai 41 persen dari total penduduk Asia Tenggara.
Untuk itu, kaum milenial perlu dilibatkan secara mendalam di sektor keuangan syariah. Selain itu, generasi millennial sangat erat kaitannya dengan digitalisasi. Menurut data tahun 2018, rentang usia 15-19 tahun menjadi pengguna internet terbanyak yakni 91% kemudian diikuti dengan usia 20-24 tahun sebanyak 88,5% dan 25-29 sebesar 82,7%, pertumbuhan pengguna internet hampir 28 juta orang, di mana hal ini sangat mempengaruhi tingkat inklusi keuangan di suatu negara.
Dilansir dari Forum Wakaf Produktif (FWP) bahwa terdapat fenomena meningkatnya partisipasi milenial dalam gerakan wakaf, di mana 48% dari wakif merupakan generasi milenial antara usia 24 dan 35 tahun. Hal ini dikarenakan banyaknya lembaga filantropi yang menyediakan layanan transaksi untuk berdonasi yang berbasis digital, mudah digunakan, dan mudah diakses. Ini juga merupakan faktor penting dalam meningkatkan tingkat sumbangan beberapa orang.
Di sisi lain, para nazir memasuki tahap menciptakan atau membangun aset wakaf produktif sebagai aset sosial yang menjadi pusat distribusi keuntungan kepada masyarakat. Program ini juga menjadi dasar upaya mobilisasi social capital berupa wakaf tunai sebagai sumber pengelolaan aset atau real estate wakaf yang sudah terbangun. Kegiatan ini dapat menghasilkan banyak jenis wakaf tunai yang dapat berupa instrumen keuangan, asuransi bahkan saham. Walaupun saat ini wakaf tunai masih dominan dijadikan sebagai sumber optimalisasi pengelolaan wakaf.
Fenomena generasi milenial dan wakaf tunai online ini sejalan dengan predikat Indonesia sebagai negara paling dermawan tahun 2021 oleh CAF World Giving Index. Direktur Filantropi Indonesia Hamid Abidin mengatakan, ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan Indonesia. Pertama, pengaruh dari kuatnya ajaran agama dan tradisi lokal terhadap kegiatan filantropi. World Giving Index (WGI) menunjukkan bahwa donasi keagamaan menjadi pendorong utama filantropi di Indonesia selama pandemi.
Kedua, situasi ekonomi yang relatif baik dibandingkan dengan negara lain. Ketiga, filantropi Indonesia relatif berhasil memfasilitasi transformasi filantropi dari filantropi tradisional menjadi filantropi digital. Hal ini ditandai dengan peningkatan donasi ke badan amal yang menggunakan platform digital. Keempat, memperkuat peran dan partisipasi kaum muda dan influencer dalam filantropi.
Komitmen mereka memungkinkan untuk menyatukan filantropi dan mendapatkan popularitas di semua kalangan, terutama anak muda. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam tentang wakaf tunai dari perspektif milenial sangat penting agar lembaga wakaf dapat bekerja dengan baik untuk meningkatkan partisipasi milenial dalam kegiatan wakaf tunai secara online.
Hariyanto penerima beasiswa LPDP, mahasiswa Magister Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga Surabaya
Sumber : https://news.detik.com/kolom/d-5896003/fenomena-milenial-dan-wakaf-tunai-online