Menurut Al-Quran
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan
konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi
sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam
menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman
ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian
dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. alBaqarah (2): 267)
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang
kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang
yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa
dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran)
bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk
menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala
dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah
menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh
orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Menurut Hadis
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis
yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika
memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk
Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk
menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.
Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; “Umar
memperoleh tanah di Khaibar, lalu dia bertanya kepada Nabi
dengan berkata; Wahai Rasulullah, saya telah memperoleh
tanah di Khaibar yang nilainya tinggi dan tidak pernah saya
peroleh yang lebih tinggi nilainya dari padanya. Apa yang
baginda perintahkan kepada saya untuk melakukannya? Sabda
Rasulullah: “Kalau kamu mau, tahan sumbernya dan
sedekahkan manfaat atau faedahnya.” Lalu Umar
menyedekahkannya, ia tidak boleh dijual, diberikan, atau
dijadikan wariskan. Umar menyedekahkan kepada fakir miskin,
untuk keluarga, untuk memerdekakan budak, untuk orang yang
berperang di jalan Allah, orang musafir dan para tamu.
Bagaimanapun ia boleh digunakan dengan cara yang sesuai oleh
pihak yang mengurusnya, seperti memakan atau memberi
makan kawan tanpa menjadikannya sebagai sumber
pendapatan.”
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang
diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nas hadis
tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia,
maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu
sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil
manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.”
14
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat
(ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang
disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat
menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena
wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan
diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimim sejak
masa awal Islam hingga sekarang.
Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah
dilaksanakan oleh masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum
merdeka. Oleh karena itu pihak pemerintah telah menetapkan
Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di
Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang
Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut,
pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah
nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang
nomor 41 tahun 2004.
Sumber : https://simbi.kemenag.go.id/eliterasi/storage/perpustakaan/provinsi/e76782c8-ec78-43b5-bc37-e8bc5665f12d/buku-digital/d4ee97547d-6553519990.pdf