Wakafmulia.org

Perwakafan Era Sahabat Nabi

Mayoritas sahabat Nabi dalam pandangan alQurtubi (1997 /VI: 339) pernah mempraktikkan wakaf
di Makkah dan Madinah, seperti Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, U.sman ibn I Affan, Ali bin Abi Jalib, A’isyah, Fatimah, Zubair, I Amr ibn I As, dan Jabir. Hal senada juga dikatakan oleh Imam Syafi’I dalam qaul al-qadim-nya sekitar delapan puluh sahabat Nabi dari kaum An.sar pernah mempraktikkan sedekah mulzarramiit, yang disebut wakaf (ar-Ramli, 1986/ II: 276), tetapi al-Qurtubi dan Imam Syafi’I tidak menjelaskan jenis wakaf mereka secara detail. Ibn Ijazm (1992/11: 180) juga menyatakan bahwa wakaf sahabat Nabi telah diketahui oleh semua orang,
sehingga Jabir berkesimpulan: “Tidak ada satu pun dari sahabat Nabi SAW menggunakan kata” (1 Asyiir,t. th/11: 66). Artinya, perwakafan sahabat Nabi variatif sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Dalam hadis Nabi dijelaskan (al-Bukhari, 1981/
III: 196): Diriwayatkan dari Shahr Ibn Juwairiyah dari Nafi’, “Sesungguhnya Umar Ibn al-Khattab memiliki tanah
yang dinamakan dengan Tsamagh yang terdapat kurma yang indah sekali. Umar berkata, “Ya Rasulallah saya
ingin memanfaatkan hartaku yang sangat baik, apakah aku mensedekahkannya? Nabi menjawab, “Sedekahkanlah asalnya yang tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, tetapi hendaklah Infaq buahnya”. Kemudian Umar mensedekahkan di jalan Allah, perbudakan, tamu, orang-orang miskin, ibnu sabil, dan sanak kerabat. Tidak mengapa pengurusnya memakan daripadanya dalam batas yang wajar atau memberi makan kepada temannya tanpa menjadikannya sebagai modal.

Tanah tersebut merupakan bagian Umar di Khaibar yang diberi nama dengan Tsamagh.
Para sahabat mendapat bagian semuanya tanpa terkecuali dan diberi nama tersendiri. Adapun
wakaf bagian Nabi adalah Naqah yang bisa juga disebut dengan I Adlba’ dan Baghlah yang dinamakan
dengan Duldul dan Faras yang dinamakan dengan Sakab dan Himar yang disebut dengan Ya’for, dan I Imiimah yang dinamakan dengan Sahiibah. Berangkat dari hal tersebut bahwa orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, maka sepantasnya harus memilih hartanya yang paling baik untuk diwakafkan, sebagaimana firman Allah “kamu tidak akan memperoleh kebaikan kecuali kamu menafkahkan sesuatu yang kamu cintai” (Ali Imran
(3): 92). Nampaknya, ayat ini memberi motivasi pada sahabat Nabi untuk berwakaf yang terbaik. Misalnya, Umar ibn Khattab melakukan wakaf selalu memilih harta yang paling baik (as-Sarakhsi, 1993/XII: 31).

Ali ibn Thalib pernah melakukan wakaf sebagaimana dipraktikkan oleh Umar. Perbedaan keduanya, Ali tidak memberi persyaratan sama sekali terhadap nazhir dan keduanya sama-sama dibenarkan secara syar’i. Hal ini sebagai dalil yang sangat luas dan fleksibel. Nazhir boleh mengambil sekedar kebutuhannya sama halnya dengan imam boleh mengambil dari Baitul miil dan wali boleh mengambil sekedarnya dari harta anak yatim tentu
sebatas kepatutan. Namun, nazhir tidak boleh mengambil hasil pengelolaan harta wakaf untuk diberikan kepada orang lain yang bukan termasuk keluarganya kecuali sesuai dengan syarat wakif, sebagaimana dilakukan oleh Umar (as-Sarakhsi, 1993: 31). Hal itu senada dengan pernyataan ulama bahwa syarat wakif diperlakukan sama dengan ketentuan nash/ teks agama (syarth al-wiiqif ka alnashsh a-syiiri’).

Sumber : https://simbi.kemenag.go.id/eliterasi/storage/perpustakaan/slims/repository/037591fa19b6296cc4aa26991e889fe4.pdf