Wakafmulia.org

WakafMulia.Org

Keadilan Ekonomi Zakat dan Bedah Rumah Ala Ganjar

Spread the love

 Zakat dapat dipandang dari dua dimensi. Pertama sebagai ibadah yang dilandasi keimanan kepada Allah SWT dan di dalamnya terkandung makna sosial. Selain sebagai ibadah sosial, zakat juga untuk menyucikan jiwa para muzaki dari sifat keji, mungkar, dan sifat buruk lainnya.

“Maka, dengan zakat, jiwa muzaki akan menjadi suci dan makin dekat dengan Allah SWT,” demikian penjelasan Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ahmad Zubaidi saat berbincang dengan Republika, Senin (2/1/2023).

Kiai Zubaidi pun mengutip firman Allah SWT, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka” (QS at-Taubah ayat 103). Ayat tersebut tidak menggunakan diksi “zakat”, tetapi menggunakan diksi “shodaqoh” atau sedekah untuk merujuk pada makna zakat. “Zakat itu juga sebagai sedekah dan merupakan ibadah yang di dalamnya mengandung nilai-nilai sosial,” ungkapnya.

Dengan zakat, Kiai Zubaidi menyampaikan, kesejahteraan umat di berbagai lapisan masyarakat bisa terwujud dan perekonomian pun merata. Allah SWT berfirman dalam Alquran surah al-Hasyr ayat 7, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang kaya saja di antara kamu.”

Kiai Zubaidi menambahkan, zakat menghadirkan keadilan sosial dan pemerataan ekonomi. Sebab, dia mengingatkan, misi Islam salah satunya adalah membangun keadilan sosial.”Sesuai dengan diutusnya Nabi Muhammad bahwa kanjeng Nabi diutus sebagai rahmat bagi segala alam.

Salah satunya adalah pemberdayaan dan pembangunan ekonomi yang merata sehingga ada keadilan sosial. Uang tidak berkumpul di kalangan orang-orang kaya, tetapi merata di berbagai lapisan masyarakat,” paparnya.

Dengan zakat pula, kesejahteraan masyarakat bisa makin meningkat sehingga target-target dalam pengentasan kemiskinan, khususnya di Indonesia, bisa tercapai. Jika hanya mengandalkan upaya pemerintah melalui dana negara, peningkatan kesejahteraan kemungkinan berjalan lamban. Karena itu, pengentasan kemiskinan membutuhkan upaya maksimal dari lembaga zakat.

“Hadirnya lembaga-lembaga amil zakat akan bisa mempercepat pengentasan kemiskinan di negara Muslim, terutama Indonesia, mengingat kemiskinan di negara kita juga masih cukup banyak. Maka, harus diperhatikan betul-betul, diberdayakan betul-betul,” tutur Kiai Zubaidi.

Ketua Komisi Dakwah MUI KH Ahmad Zubaidi – (Republika/Andrian Saputra)

Perihal tentang siapa yang berhak mendapatkan zakat, dia pun mengungkapkan, golongan tersebut sudah diatur dalam Alquran.

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (QS at-Taubah ayat 60).

Kiai Zubaidi menjelaskan, amil zakat sudah sepantasnya mendapatkan hak tersebut karena mereka yang menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan zakat kepada mustahik atau orang yang berhak menerima zakat. Mustahik yang lain ialah orang-orang fakir dan miskin.

“Harta zakat juga mesti diberikan kepada mereka untuk mengentaskan kemiskinan itu sendiri. Karena itu, pemberian zakat kepada fakir miskin harus dengan cara yang memberdayakan,” tutur dia.

Dana zakat, ujar Kiai Zubaidi, tidak hanya diberikan secara instan pada saat itu, tetapi yang terpenting adalah bagaimana persoalan kemiskinan bisa teratasi dengan pengelolaan zakat yang produktif. Bentuknya, misalnya, bisa bantuan wirausaha dan sebagainya.

Mustahik lainnya adalah mualaf. Kiai Zubaidi menuturkan, mualaf termasuk mustahik karena bertujuan agar keimanan mereka makin kuat dan kokoh serta tidak kembali ke agama mereka sebelumnya. Bahkan, menurut Kiai Zubaidi, ketika ada orang yang baru tertarik mempelajari Islam, bukan masalah jika ingin memberikan zakat kepada mereka, dengan maksud agar mereka makin yakin dengan Islam.

Kategori mustahik berikutnya yaitu al-gharim, orang yang terlilit utang. Kiai Zubaidi mengatakan, zakat diberikan kepada mereka supaya terbebas dari jeratan utang. Namun, tujuannya tidak hanya untuk membebaskan mereka dari lilitan utang, tetapi juga memberdayakan mereka agar dapat memiliki usaha sendiri dan tidak terjerat utang lagi.

Selanjutnya, orang yang berjuang di jalan Allah SWT juga merupakan salah satu dari delapan mustahik yang disebutkan dalam Alquran surah at-Taubah ayat 60. Kiai Zubaidi menerangkan, orang yang berjuang di jalan Allah antara lain ialah para guru yang menyebarkan ajaran Islam ke pelosok-pelosok daerah dan para guru madrasah yang gajinya jauh dari kata layak.

“Mereka mesti diperhatikan lembaga-lembaga zakat supaya menjadi bagian dari harta zakat ini,” katanya.

Golongan lain yang berhak menerima zakat adalah ibnu as-sabil. Siapa yang dimaksud ibnu as-sabil? Kiai Zubaidi mengungkapkan, kalangan yang termasuk di dalamnya ialah para pelajar dari kaum dhuafa yang sedang menempuh studi di tempat yang jauh. Menurut dia, pelajar tersebut harus mendapatkan perhatian dari lembaga-lembaga amil zakat seperti Baznas dan LAZ-LAZ lainnya.

“Harus betul-betul memperhatikan mereka mereka bisa sekolah. Dengan demikian, potensi mereka, yang biasanya banyak orang pintar dari kalangan dhuafa, itu bisa terjaring dan kemampuan mereka pun dapat dikembangkan melalui dana zakat,” paparnya.

Bedah rumah

Salah satu permasalahan zakat yang mendapatkan sorotan akhir-akhir ini yakni saat dana tersebut tak sesuai dengan peruntukannya. Sebagai misal, saat Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Buya Anwar Abbas buka suara mengenai santunan untuk kader partai dari Gubernur Ganjar Pranowo melalui Baznas. Santunan tersebut berupa dana untuk renovasi rumah kader PDIP.

Menurut Buya Anwar, minimal ada tiga jenis dana di Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), yaitu zakat, infak, dan sedekah. Menurut Buya, zakat sudah sangat jelas peruntukannya, yakni untuk asnaf (fakir, miskin, amil, mualaf, gharim, riqab, fisabilillah, dan ibnu sabil).

Sedangkan, infak dan sedekah, peruntukannya bisa lebih lentur daripada zakat. Meski demikian, biasanya orang yang memberikannya telah punya niat agar orang yang mengelolanya dapat menggunakannya untuk menolong orang yang masuk ke dalam kategori asnaf atau untuk membantu orang-orang yang kesusahan.

Di dalamnya termasuk untuk kepentingan umum, seperti membangun masjid, sekolah, jalan, serta yang bersifat dharuriyat atau penting, baik untuk membela kepentingan orang perorang, keluarga, atau orang banyak.

“Oleh karena itu, kalau dana ZIS (zakat, infaq, sedekah, red) tersebut dipergunakan untuk membangun rumah bagi anak-anak yatim atau orang-orang yang termarginalkan oleh kehidupan, tentu jelas bisa. Tapi, kalau untuk membangun rumah seorang tokoh politik yang sudah mapan pula ekonominya, hal demikian tentu jelas sangat tidak tepat,” ujar Buya dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Sabtu (31/12/2022).

Jika yang demikian memang terjadi, dia menyesalkan tindakan dari pengurus Baznas setempat. “Begitu juga dengan pihak politisi yang menerima serta pihak-pihak yang merekomendasikannya,” ujar dia.

Maka dari itu, supaya pengelolaan dana di Baznas tersebut berjalan dengan baik dan sesuai dengan ketentuan syariah, Buya menyarankan kepada pemerintah untuk memeriksa dan mengaudit Baznas dari tingkat pusat sampai daerah.

“Dikhawatirkan seperti kata-kata orang bijak, di mana ada gula, di situ ada semut. Maka, tidak mustahil telah terjadi penyalahgunaan terhadap dana Baznas yang ada. Bahkan, tidak mustahil dana Baznas tersebut juga telah dikerubutin oleh orang-orang tertentu yang punya kekuasaan, yang memang secara hukum dan syariat agama tidak boleh dilakukan,” ujarnya.

Sumber ; https://www.republika.id/posts/36022/keadilan-ekonomi-zakat-dan-bedah-rumah-ala-ganjar